Politik Uang Marak dalam Pemilu 2024: Pergeseran Ideologi Kontestasi

Indosiana.com - Pada Jumat pagi, nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan dalam transaksi antarbank di Jakarta. Data yang diterbitkan menunjukkan bahwa rupiah naik 39 poin atau 0,24 persen, mencapai Rp15.726 per dolar AS.
Mata Uang [Ilustrasi]

Indosiana.com – Kontestasi ide dan gagasan dalam Pemilu 2024 mulai tergerus oleh praktik politik uang yang semakin merajalela.

Berbagai kalangan menyoroti praktik ini yang dinilai telah mempengaruhi integritas dan proses demokrasi di Tanah Air.

Menurut beberapa sumber, praktik politik uang mencapai nilai yang mengkhawatirkan, dengan rentang antara Rp200 ribu hingga Rp500 per pemilih.

Bahkan, ada yang menggunakan sistem paket, dengan nilai mencapai Rp600 ribu hingga Rp1,5 juta per pemilih.

Praktik semacam ini tidak hanya terjadi di beberapa daerah, tetapi juga di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Kepulauan (Unrika), mengakui bahwa praktik politik uang telah merajalela di Batam.

Ia menilai bahwa politik uang kini menjadi cara paling efektif bagi calon legislatif untuk meraih kursi kekuasaan.

Akibatnya, calon incumbent dan yang telah berkontribusi di masyarakat banyak yang tergeser oleh calon pendatang baru.

“Ini terjadi di masyarakat dan ada unsur pembiaran (dari Pengawas Pemilu), meski itu mencederai aturan,” ungkapnya kutip podcast di Batam, Minggu, 17 Maret 2024.

Ketua DPP Bidang Politik Partai Perindo, Yusuf Lakaseng, juga mengakui maraknya politik uang sebagai pelanggaran pemilu yang terang-terangan terjadi pada Pemilu 2024.

Ia bahkan mengungkapkan temuan praktik politik uang oleh salah satu partai politik di daerahnya, Sulawesi Tengah.

“Yang paling mendominasi pelanggaran pemilu adalah politik uang, gila-gilaan,” katanya.

Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), menilai bahwa terjadi pergeseran pemilu dari kontestasi politik menjadi pertandingan logistik atau yang sering disebut sebagai ‘amplopisme’.

Menurutnya, praktik ini sudah meluas di hampir semua Dapil dan tingkat pemilihan.

“Sulit menemukan caleg yang tidak menggunakan teknik amplop. Jika pun ada, prosentasenya sangat kecil,” katanya.

Sistem proporsional terbuka, lanjut Anas, turut berkontribusi terhadap fenomena ini. “Sistem ini sudah seperti mengundang dan bahkan (hampir) memaksa para caleg untuk menempuh ideologi ‘amplopisme’ dalam mendapatkan dan mengumpulkan suara. Ironi banget!” ujarnya.

Praktik politik uang yang semakin merajalela ini menimbulkan keprihatinan dalam proses demokrasi di Indonesia, mempertanyakan integritas serta kesadaran politik dari masyarakat dan pemerintah. [*]