Kota Sawahlunto

Kota Kuali, Sawahlunto, kini giat menggenjot potensi wisata. Hebatnya, kolam lumpur bekas tambang pun bisa dijual oleh Pemkonya. Dengan konsep Sawahlunto, Kota Tambang yang Berbudaya, Sawahlunto pun mengggeliat, menggerakkan ekonomi masyarakatnya yang mulai tertatih-tatih gara hengkangnya PT BA (Bukit Asam) yang telah ratusan tahun mengeksploitasi batubara dari bumi Sawahlunto.

Siapa tak kenal Sawahlunto? Jangan tunjuk tangan, kalau tak ingin malu. Soalnya Sawahlunto sangat terkenal sebagai negeri penghasil batu bara sejak zaman Belanda dulu. Suasana kotanya di malam hari bahkan disamakan orang dengan Hongkong, saking gemerlap dan mewahnya pendaran lampu yang menerangi.

Gara-gara Sawahlunto, jalan kereta api dibuat di Sumatera Barat. Pelabuhan dipindah dari Muaro ke Taluak Bayua dan diberi nama Emma Haven. Pabrik semen Indaruang dimungkinkan berfungsi dengan harga ekonomis karena Sawahlunto, sebab pabrik itu tak perlu lagi membeli batubara yang sangat dibutuhkan sebagai bahan baku pembakaran di silo-silo PT Semen Padang dari tempat lain yang jauh.

Bayangkan kalau PT Semen Padang membeli batubara dari PT Kaltim Prima Coal, di Samarinda, Kalimantan Timur, bisa-bisa harga Semen Padang satu zak Rp200 ribu.

Sekarang, setelah batubara habis—sebenarnya tidak habis, tapi deposit yang tersisa letaknya jauh di bawah tanah, jadi biaya produksinya tak cocok lagi dengan keuntungan yang bakal diperoleh—maka lubang-lubang bekas tambang dan segala peralatan yang pernah digunakan untuk mengeksploitasi dan mengolahbatubara, serta gedung-gedung perkantorannya disulap menjadi obyek wisata. Kantor Dinas Pariwisatanya juga ditempatkan di salah satu gedung bekas instalasi tambang. Begitulah pintarnya Walikota Sawahlunto, Amran Nur mengubah tantangan jadi peluang. Akibatnya wisatawan pun mengalir ke Sawahlunto.

Kota Sawahlunto memiliki masa lalu yang mirip-mirip Australia, yaitu dibangun oleh para narapidana. Mereka belum tentu pelaku tindak kriminal semua, tapi karena melawan Belanda, mereka dikerangkeng dan dirantai bak kriminal kelas berat. Jadi mungkin saja mereka itu pahlawan-pahlawan kita yang dicap kriminal oleh Belanda. Mereka bukan hanya dipaksa menambang batubara di lubang-lubang tambang yang gelap, tetapi juga membangun segala sarana dan prasarana.
Kita masih bisa melihat bagaimana orang-orang nestapa yang dirantai kakinya ini terbungkuk-bungkuk mendorong lori batubara di rel-rel di museum yang ada di kota ini. Kalau tidak salah namanya Gudang Ransum yang kini dikepalai Ir Rika Cheris, tokoh muda Sumbar yang juga dikenal sebagai pencinta warisan sejarah dan arsitektur tradisional.

Mantan kepala Gudang Ransum Dra Sri Setyawati MSi mengatakan koleksi Gudang Ransum dikumpulkan dari mana-mana, kebanyakan tentang teknologi batubara dan sarana transportasi untuk mengangkutnya ke Pelabuhan Taluak bayua dan pabrik PT Semen Padang. “Foto-fotonya juga banyak, semua ada di Gudang Ransum,” katanya.

Pilihan Tepat

Pilihan untuk mengubah Kota Sawahlunto menjadi Kota Tambang yang Berbudaya ternyata sangat tepat. Selain bekas-bekas tambang dan jejak eksploitasinya, kini kota wisata ini dilengkapi berbagai sarana wisata lainnya sebutlah Water Boom di Muara Kalaban yang telah mengundang ribuan orang dari seantero Sumatera Barat, sampai Riau dan Jambi. Meski ukurannya lebih kecil dibanding Mifan (Minang Fantasy), tapi water boom ini merupakan yang pertama di Sumatera. Sawahlunto lah pionirnya, yang jeli melihat peluang bisnisnya yang sangat prospektif.

Lalu ada resort wisata Kandi Tanah Hitam , yang berjarak lebih kurang 12 kilometer dari pusat kota. Kawasan ini memiliki luas 393,4 hektar. Resort Kandi dilewati Sungai Batang Ombilin, di sana terdapat 3 danau yakni Danau Kandi, Danau Tanah Hitam dan Danau Tandikek. Ketiga danau ini terbentuk dari lubang galian bekas tambang. Kini berbagai atraksi air digelar di sini.

Para pencinta olahraga motocross juga dimanjakan di sini, karena ada sirkuit yang rutin menyelenggarakan pertandingan tingkat nasional sekali setahun dan tingkat lokal sampai lima kali setahun. Arena road race ini luasnya 10 hektar.

Selain ahli ketangkasan bersepeda motor juga ada lomba pacu kuda. Luas lokasinya 39,69 hektar dan memiliki track pacu kuda sepanjang 1.400 meter dengan lebar 20 meter, tribun VVIP berkapasitas 300 penonton, tribun VIP yang bisa menampung 500 orang dan tribun ekonomi yang berkapasitas 30.000 orang. Kandang kudanya juga ada, cukup untuk 200 ekor kuda, termasuk kuda kesayangan walikota. Tapi saya lupa namanya. Lomba kuda bogie juga ada, itu kereta kuda tanpa atap, mirip kereta kuda yang memeriahkan ajang adu gladiator Romawi.

Saat ini juga tengah disiapkan pembuatan Taman Safari mini dengan total investasi Rp25 miliar di lahan seluas 40 hektar. Kalau taman ini jadi bisa dipastikan kebun binatang di Bukittinggi bakal kehilangan banyak pengunjung, sebab konsepnya sangat maju, menyerupai Taman Safari dan Bali Zoo yang sangat alami. Jadi bukan sekedar mengkerangkeng hewan dan membiarkan mereka hidup meranan di semen, dengan makanan yang sudah dijatah.

Pengunjung yang menyukai cendera mata bisa ke Silungkang. Banyak kios cendera mata di sana yang menjual segalanya. Dari sapu Silungkang yang ternama sampai batu lado dari batu kali. Yang terakhir ini disukai sekali oleh pelancong dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia karena unik dan sangat bernuansa alami.

Penggila songket akan terpuaskan olehbanyaknya kios-kios yang menjual songket dan aneka tenunan lainnya, termasuk kain sarung. Bahkan bisa melihat penenunnya sedang beraksi. Misalnya Ibu Fatimah, yang suka menenun sendiri songket jualannya di kiosnya INJ Songket, Batu Manonggou, Silungkang. Harga songketnya Rp200 ribu – Rp3,5 juta. Ada motif burung merak yang katanya asli Silungkang dan sudah jarang dibuat. Sandal, dompet, selendang dan ikat pinggang bermotif songket juga banyak dengan harga Rp10.000 – Rp500 ribu.

Houtman (40), seorang petinggi di PT Sinar Mas, Kalimantan Timur, mengatakan dia sengaja ke silungkang karena ibunya memesan songket. “Saya disuruh beli di Silungkang, nggak boleh di tempat lain,” katanya. Padahal, tambah Houtman, songket serupa juga ada di Bintaro, Jakarta, tempat tinggalnya, karena yang punya butik itu juga orang Silungkang. “Tapi itulah, mama maunya yang asli dibeli di Silungkang, maka di sinilah saya,” katanya sat ditemui di INJ Songket.

Kalau lapar bisa ke kedai-kedai sop dan soto Muaro Kalaban yang sudah tenar ke senatero negeri. Misalnya Soto dan Sup Urang Awak atau Sup dan Soto Baselo Ponsel. Tak sampai Rp25 ribu per orang, sudah bisa makan kenyang.

Untuk kenyamanan pengunjung, Pemko Sawahlunto telah menyiapkan beberapa hotel yang letaknya strategis di tengah kota, yakni Wisma Ombilin dan Laura Hotel, kalau kurang belasan home stay bertarif murah siap menampung. (*)